PENGAWETAN MAKANAN DENGAN TEKNIK NONTERMAL
Oleh Anto Susanto
P2AA11054
Email : antosusanto@ymail.com
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Demikian bunyi pertimbangan pada Undang-Undang No 7 1996 tentang Pangan. Dengan semakin meningkatnya populasi penduduk Indonesia, maka kebutuhan pangan untuk pemenuhan hak asasi tersebut akan semakin besar pula. Karena itu, sistem pangan nasional Indonesia harus terus dikembangkan mengikuti perkembangan peradaban manusia dan aneka tuntutannya. Sistem pangan Indonesia, tidak hanya dituntut untuk memberikan pasokan produk pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup (nutritionally adequate), tetapi juga aman (safe). Dengan semakin meningkatnya status sosial dan pendidikan masyarakat, maka hal ini mengakibatkan meningkatnya pula kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mutu, gizi dan keamanan pangan dalam upaya menjaga kebugaran dan kesehatan masyarakat. Dalam hal ini, keamanan pangan merupakan prasyarat bagi pangan bermutu dan bergizi baik. Tidak ada artinya berbicara citarasa dan nilai gizi, atau pun mutu dan sifat fungsional yang bagus, tetapi produk tersebut tidak aman dikonsumsi.
Mutu pangan secara keseluruhan dapat dinyatakan secara sederhana dengan rumus Q = (a.b).( ) dimana (a.b) adalah faktor keamanan dan ) adalah faktor mutu. Faktor keamanan pangan terdiri dari (a) keamanan rohani (kesesuaian dengan kepercayaan, misalnya kehalalan) dan (b) keamanan jasmani. Dalam rumus tersebut, faktor keamanan pangan jelas merupakan prasyarat bagi mutu pangan yang baik. Sedangkan faktor mutu terdiri dari faktor X, yaitu faktor-faktor mutu perlu ditingkatkan (dimaksimalkan) dan faktor Y, yaitu faktor mutu yang perlu diminimalkan.
Manusia untuk bisa hidup mutlak memerlukan pangan. Selanjutnya, supaya hidup seseorang bisa produktif maka ia harus menkonsumsi pangan yang aman dan bermutu. Dengan demikian, semakin penting untuk mengembangkan sistem pangan nasional Indonesia yang bias menjamin terjaminnya produksi pangan dengan tingkat keamanan pangan yang baik, yaitu produk pangan yang bebas faktor yang tidak halal (faktor haram) dan faktor yang tidak sehat (cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia).
Sebagai kebutuhan dasar manusia makanan yang kita konsumsi hendaknya bersih dan memiliki kandungan gizi yang lengkap. Perkembangan industri pangan yang memberikan perubahan baik secara kualitatif atau kuantitatif pada makanan menyebabkan perkembangan bahan makanan maju pesat, baik itu untuk pengawet, perasa, tekstur/warna dari makanan. Konsumen membutuhkan makanan yang segar, murah dan mudah disajikan sebagai tuntutan zaman yang makin praktis. Tuntutan kepentingan ekonomi dan semakin kompleksnya permasalahan pangan diikuti dengan pertumbuhan bahan-bahan kimia sebagai pengawet. Menurut hasil penelitian terdapat 2.500 variasi kimia. Bahan-bahan tambahan tersebut dapat mempengaruhi kualitas bahan makanan, penambahan bahan tambahan tersebut dapat memperpanjang waktu kadaluarsa bahan pangan, meningkatkan aroma dan penampilan bahan pangan. Dengan pengawetan, makanan bisa disimpan berhari-hari, bahkan berbulan-bulan dan sangat menguntungkan produsen.
Secara formal, nilai strategis mutu, gizi dan keamanan pangan ini telah mendapatkan perhatian pemerintah. Hal ini dibuktikan dengan diberlakukannya undang-undang tentang pangan yaitu Undang-Undang No.7 tahun 1996 yang banyak menyinggung permasalahan mengenai mutu, gizi dan keamanan pangan. Namun demikian, kenyataan formal diatas kertas tersebut berbeda dengan kondisi nyata di lapangan. Kinerja keamanan pangan yang ada masih kurang memadai. Hal ini disebabkan disebabkan karena (1) infrastruktur yang belum mantap, (2) tingkat pendidikan produsen dan konsumen yang masih rendah, (3) sumber dana yang terbatas dan (4) produksi makanan masih didominasi oleh industri kecil dan menengah dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai. Namun demikian, akar masalah utama keamanan pangan di Indonesia adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan dalam pembangunan nasional oleh pembuat dan pelaksana kebijakan. Isu keamanan pangan di suatu negara merupakan isu daya saing yang sangat strategis. Secara mendasar upaya menjamin keamanan pangan berarti pula menjamin pemenuhan hak-hak masyarakat. Disamping itu, peningkatan kinerja keamanan pangan suatu negara akan menyebabkan peningkatan status kesehatan masyarakat, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas individu; yang secara kolektif akan berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.
Kondisi keamanan pangan yang baik akan menghasilkan manusia yang lebih sehat, lebih produktif, menurunkan kasus-kasus penyakit asal pangan (foodborne disease) dan menurunkan beban biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk kasus atau wabah penyakit asal pangan. Pada umumnya, sebagian besar penyakit karena pangan (foodborne diseases) disebabkan karena adanya agen biologi seperti bakteri, virus dan parasit dan umumnya ditunjukkan dengan gejala gastrointestinal seperti diare, sakit perut (abdominal pain), mual (nausea) dan muntah-muntah (vomiting). Permasalahan penyakit yang disebabkan karena pangan yang terkontaminasi merupakan salah satu permasalahan besar di dunia dan merupakan penyebab penting bagi penurunan produktivitas ekonomi (WHO, 1984).
1.2 Batasan Permasalahan
Permasalahan dalam makalah ini diantaranya :
1) Bagaimana cara mengawetkan makanan hasil pertanian dan olahannya?
2) Apakah teknik pengawetan nontermal?
3) Bagaimana penggunaan dan aplikasinya pada makanan hasil pertanian dan olahannya?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Adapun tujuan makalah adalah :
1) Mengetahui Arti penting pengawetan makanan.
2) Mengetahui teknik pengawetan nontermal.
3) Mengetahui penggunaan dan aplikasinya pada bahan pangan dan hasil olahan makanan.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini yaitu dapat memberikan informasi terkait tentang pengawetan makanan dan penggunaan teknik pengawetan nontermal dalam kontribusinya terhadap makanan hasil pertanian dan olahannya yang diawetkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bahan Makanan
2.1.1 Sifat dan Karakteristik Bahan Makanan
Makanan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Makanan sebagai sumber zat gizi yaitu karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan, mulai dari janin, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang serta mencapai prestasi kerja (Yayuk, 2004). Semakin berkembangnya ilmu dan teknologi makanan, semakin banyak intervensi manusia dalam pembentukan atau pengolahan bahan makanan. Makanan yang tersaji harus tersedia dalam bentuk dan aroma yang menarik, rasa enak, warna dan konsistensinya baik serta awet.
Bahan-bahan hasil pertanian seringkali mengalami kerusakan baik di lahan maupun dalam proses penanganan pasca panen. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor fisik, mekanik, termal, fisiologis dan kimia. Untuk mencegah kerusakan bahan hasil pertanian seminimal mungkin, diperlukan pengetahuan tentang karakterisrik (watak/sifat) teknik bahan hasil pertanian yang berkaitan dengan karakteristik fisik, mekanik dan termal (Yayuk, 2004).
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan faktor-faktor non-teknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan (Winarno,1993).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat.
2.1.2 Kandungan Bahan Makanan
a. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi hamper seluruh penduduk dunia, khususnya bagi penduduk Negara yang sedang berkembang. Walaupun jumlah kalori yang dapat dihasilkan oleh 1 gram karbohidrat hanya 4 kal (kkal) bila dibanding protein dan lemak, karbohidrat merupakan sumber kalori yang murah. Selain itu beberapa golongan karbohidrat menghasilkan serat-serat (dietary fiber) yang berguna bagi pencernaan.
Karbohidrat terdapat dalam jaringan tumbuhan dan hewan serta dalam mikroorganisme dalam berbagai bentuk dan berbagai aras. Dalam makhluk hewan, gula utama ialah glukosa dan karbohidrat simpanan glikogen; dalam susu, gula utama hamper khusus disakarida laktosa. Dalm makhluk tumbuhan terdapat berbagai jenis monosakarida dan oligosakarida dan karbohidrat simpanan berupa pati polisakarida struktur tumbuhan ialah selulosa.
Gom adalah golongan beragam polisakarida yang diperoleh dari tumbuhan, rumput laut, dan mikroorganisme. Karena sifat fisiknya yang bermanfaat, gom telah dipakai secara luas dalam pemrosesan makanan. Karbohidrat yang terdapat dalam sejumlah makanan disenaraikan dalam tabel 2.1.
Table 2.1.Karbohidrat dalam beberapa makanan dan produk makanan
Produk
|
Gula total (%)
|
Keterangan
|
Mono dan disakarida(%)
|
Polisakarida
|
Apel
Anggur
Arbei
Wortel
Bawang
Kacang tanah
Kentang
Jagung manis
Ubi jalar
Turnip
Madu
Sirop maple
Daging
Susu
Bit gula
Cairan tebu |
14,5%
17,3%
8,4%
9,7%
8,7%
18,6%
17,1%
22,1%
26,3%
6,6%
82,3%
65,5%
4,9%
18-20%
14-28% |
Glukosa 1,17; fruktosa 6,04
Sukrosa 3,78; sesepora manosa
Glukosa 5,35; fruktosa 5,33
Sukrosa 1,32; manosa 2,19
Glukosa 2,09; fruktosa 2,40
Sukrosa 1,03; manosa 0,07
Glukosa 0,85; fruktosa 0,85
Sukrosa 4,25
Glukosa 0,85; fruktosa 0,85
Sukrosa 4,25
Sukrosa 4-12
Sukrosa 12-17
Glukosa 0,87;2-3
Glukosa 1,5; fruktosa 1,18 sukrosa 0,42
Sukrosa 58,2-65,5; heksosa 0,0-7,9
Glukosa 0,01
Laktosa 4,9
Sukrosa 18-20
Glukosa + fruktosa 4-8 sukrosa 10-20 |
Pati 1,5
Selulosa 1,0
Selulosa 0,6
Selulosa 1,3
Pati 7,8
Selulosa 1,0
Selulosa 0,71
Selulosa 2,4
Pati 14
Selulosa 0,5
Selulosa 0.7
Pati 14,65
Selulosa 0,7
Selulosa 0.9
Glikogen 0,10 |
b. Protein
Nama “Protein” berasal dari bahasa yunani (greek) “Primary, holding first place” yang berarti menduduki tempat yang terutama. Mulder, seorang ahli kimia belanda, mengisolasi susunan tubuh yang mengandung nitrogen dan menamakannya protein terdiri dari satuan dasarnya yaitu asam amino (biasa disebut juga unit pembangun protein).
Dalam proses pencernaan, protein akan dipecah menjadi satuan- satuan dasar kimia, kemudian diserap dan dibawa oleh aliran darah keseluruh tubuh, dimana sel-sel jaringan mempunyai kemampuan untuk mengambil asam amino yang diperlukan untuk kebutuhan membangun dan memelihara kesehatan jaringan.
Protein terbentuk dari unsure-unsur organik yang hampir sama dengan karbohidrat dan lemak yaitu terdiri dari unsur karbon, hidrogen dan oksigen akan tetapi ditambah dengan unsur lain yaitu nitrogen. Beberapa protrein juga mengandung unsure mineral yaitu fosfor, sulfur dan zat besi.
Molekul protein tersusun dari satuan-satuan dasar kimia, yaitu asam amino dan asam-asam amino ini saling berhubungan dengan suatu ikatan yang disebut ikatan peptida (-CONH-).
Protein mempunyai fungsi yang unik bagi tubuh, antara lain :
– Protein menyediakan bahan-bahan yang penting perananya untuk pertumbuhan dan memelihara jaringan tubuh
– Protein bekerja sebagai zat pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh
– Memberikan tenaga, jika keperluannya tidak dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak.
Protein sebagai zat pembangun yaitu merupakan bahan pembangun jaringan baru. Dengan demikian protein amatlah penting bagi semua taraf kehidupan. Mulai dari masa anak-anak, remaja yang sedang tumbuh, juga pada masa hamil dan menyusui pada wanita dewasa, orang yang sakit dan dalm taraf penyembuhan, demikian juga orang dewasa dan lanjut usia. Berarti pembentukan jaringan baru selalu terjadi selama kita hidup.
Tubuh yang menerima cukup makanan bergizi akan mempunyai simpanan-simpanan protein untuk digunakan dalam keadaan darurat. Tetapi bila keadan tidak menerima menu keseimbangan/mencukupi kebutuhan tubuh berlanjut terus, maka gejala-gejala kurang protein akan timbul. Protein sebagai pembangun/pembentuk struktur tubuh terlihat dari gambaran susunan komposisi tubuh manusia. Lebih kurang dua puluh persen atau 1/5 bagian berat badan orang dewasa terdiri dari protein.
Dari analisa berat kering sebanyak 50% atau separuh berat tubuh orang dewasa terdiri dari protein. Dari bagian tersebut 1/3 bagiannya berada dalam otot 1/5 bagian tersimpan dalam tulang dan cartilage (tulang rawan), 1/10 bagian tersimpan pada kulit dan sisanya berada dalam cairan tubuh dan jaringan-jaringan.
Sebagai pembangun tubuh (body building), protein berfungsi :
1) Bagian utama dari sel inti (nucleus) dan protoplasma.
2) Bagian padat dari jaringan tubuh manusia : otot, glandula, sel-sel/butir darah.
3) Penunjang organic dari matrik tulang,gigi, rambut dan kuku.
4) Bagian dari enzim.
5) Bagian dari hormone.
6) Bagian dari cairan yang disekresikan kelenjar kecuali empedu, keringat dan urine (tidak mengandung protein).
7) Bagian dari antibody (zat kekebalan tubuh = globulin), berarti protein penting peranannya dalam menjaga kekebalan tubuh terhadap infeksi.
Selain protein amat penting untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan, protein juga turut memelihara serta mengatur proses-proses yang berlangsung dlam tubuh. Hormin yang mengatur proses pencernaan dalam tubuh adalah terdiri dari protein.
Mineral dan vitamin yang bergabung dengan protein membentuk enzim yang berperanan besar untuk kelangsungan proses pencernaan dalam tubuh, demikian zat kekebalan tubuh juga mengandung protein. selain itu juga protein mengatur tekanan osmosa, pada keseimbangan cairan dan pH (asam-basa darah). Protein membantu mengatur keluar masuknya cairan, nutrient (zat gizi) dan metabolit dari jaringan masuk kesaluran darah. Pada saat orang mengalami kekurangan plasma protein, maka keseimbangan cairan akan terganggu dan akan berakumulasi disekitar jaringan, sehingga terjadi pembengkakan (oedema) “Nutritional Oedema” adalah salah satu gejala klinis yang terlihat pada penderita hypoproteinema (rendah plasma protein).
Karena komposisi protein mengandung unsure karbon, maka protein dapat berfungsi sebagai bahan bakar sumber energi. Bila tubuh tidak menerima karbohidrat dan lemak dalam jumlah yang cukup memenuhi kebutuhan tubuh, maka untuk menyediakan energi bagi kelangsungan aktifitas tubuh, proteinakan dibakar sebagai sumber energi. Dalam keadaan ini keperluan tubuh akan energi akan diutamakan sehingga sebagian protein tidak dapat dipergunakan untuk membentuk jaringan.
c. Lemak
Lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak. Lemak mempunyai unsur-unsur organik karbon, hidrogen dan oksigen yang terikat dalam ikatan gliserida. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia.lemak juga merupakan sumber energy yang lebih efektif dibanding karbohidrat dan protein, 1 gram minyak dan lemak dapat menghasilkan 9 kkal. Sedangkan karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/ gram. Minyak atau lemak, khususnya minyak nabati, megandung asam-asam lemak esensial seperti asam linoleat, lenolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan kolestrol. Minyak dan lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E, dan K
Lemak dan minyak terdapat pada hampir semua bahan pangan dengan kandungan yang berbeda-beda. Tetapi lemak dan minyak seringkali ditambahkan dengan sengaja kebahan makanandengan berbagai macam tujuan dalam pengolahan bahan pangan, minyak dan lemak berfungsi sebagai media pengantar panas, seperti minyak goring, sortning (mentega putih, lemak (gajih), mentega dan margarin. Disamping itu penambahan lemak dimaksudkan untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan, seperti pada kembang gula, penambahan sortning pada pembuatan kue-kue, dan lain-lain. Lemak yang ditambahkan kedalam bahan pangan atau dijadikan bahan pangan membutuhkan persyaratan dan sifat-sifat tertentu. Berbagai bahan pangan seperti daging, ikan, telur, susu, apokat, kacang tanah, dan beberapa jenis sayuran yang mengandung lemak atau minyak yang biasanya termakan bersama bahan tersebut. Lemak dan minyak tersebut dikenal sebagai lemak tersembunyi (invisible fat). Sedang lemak dan minya yang telah diekstraksi dari ternak atau bahan nabati yang dimurnikan dikenal sebagai lemak minyak biasa atau lemak kasat mata (visible fat)
Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol, sedangkan lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak megandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair. Lemak hewani ada yang berbentuk padat (lemak) yang biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu, lemak babi, lemak sapi. Lemak hewan laut seperti minyak ikan paus, minyak ikan Cod, minyak ikan herring berbentuk cair yang disebut minyak.
Lemak nabati yang berbentuk cair dapat dibedakan menjadi 3 golongan :
1) Drying oil yang akan membentuk lapisan keras bila mengering diudara, misalnya minyak yang dapat digunakan untuk cat dan pernis.
2) Semi drying oil seperti minyak jagung minyak, biji kapas, dan minyak bunga matahari; dan
3) Non drying oil, misalnya minyak kelapa dan minyak kacang tanah.
Lemak nabati yang berbentuk padat adalah minyak coklat dan bagian “stearin” dari minyak kelapa sawit.
d. Vitamin
Istilah vitamin mula-mula diutarakan oleh seorang ahli kimia Polandia yang bernama Punk, yang percaya bahwa zat penangkal beri-beri yang larut dalam air itu suatu amine yang sangat vital, dan dari kata tersebut lahirlah istilah vitaminedan kemudian menjadi vitamin. Kini vitamin dikenal sebagai kelompok senyawa organik yang tidak termasuk dalam golongan protein, karbohidrat, maupun lemak dan terdapat dalam jumlah kecil dalam bahan makanan yang sangat penting perananya bagi beberapa fungsi tertentu tubuh untuk menjaga kelangsungan kehidupan serta pertumbuhan.
Vitamin berasal dari kata latin, vita yang berarti hidup. Merupakan kelompok gizi yang terbaru. Umumnya vitamin ditentukan baik dengan huruf atau dengan nama misal vitamin A, B, C dan sebagainya. Vitamin digunakan tubuh dalam jumlah yang sedikit, tetapi tidak ada golongan gizi lain dapat menggantikannya. Vitamin-vitamin bekerja satu sama lain dan dengan zat gizi lainnya dalam memperlancar fungsi tubuh secara normal. Sebagian besar fungsinya berkaitan dengan fungsinya sebagai enzim pembantu (ko-enzim) dalam metabolisme zat gizi dan dalam melepaskan energi. Semua vitamin digolongkan menurut daya melarutnya. Beberapa viamin larut dalam pelarut lemak, lainnya larut dalam air.
Vitamin merupakan suatu molekul organik yang sangat diperlukan tubuh untuk proses metabolisme dan pertumbuhan yang normal. Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus diperoleh dari bahan pangan yang dikonsumsi. Sebagai pengecualian adalah vitamin D, yang dapat dibuat dalam kulit asalkan kulit mendapat cukup kesempatan kena sinar matahari. Dalam bahan pangan hanya terdapat vitamin dalam jumlah yang relatif sangat kecil, dan terdapat dalam bentuk yang berbeda-beda, diantaranya adalah yang berbentuk provitamin atau calon vitamin (precursor) yang dapat diubah dalam tubuh menjadi vitamin yang aktif. Segera setelah diserap oleh tubuh provitamin mengalami perubahan kimia sehingga menjadi satu atau lebih bentuk yang aktif.
e. Mineral
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Meskipun banyak dari elemen-elemen mineral telah jelas diketahui fungsinya pada makanan ternak, belum banyak penelitian sejenis dilakukan pada manusia. Karena itu peranan berbagai unsur mineral bagi manusia masih belum sepenuhnya diketahui.
Mineral dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
1) Mayor mineral (mineral makro) : > 0,05% dari berat badan.
Contohnya : Ca, P. Mg, K, Na, Cl, dan S.
2) Minor mineral (mineral mikro) : < 0,05% dari berat badan.
Contohnya : Fe, I, Co, F, Mn, Cu, Zn, Mo, Se dan Cr.
f. Air
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung, serta biji-bijian, terkandung air dalm jumlah tertentu.
Semua bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda, baik itu bahan makanan hewani maupun nabati. Air berperan sebagai pembawa zat-zat makanan dan sisa-sisa metabolism, sebagai media reaksi yang menstabilkan pembentukan biopolymer, dan sebagainya.
Bahan pangan kita baik yang berupa buah, sayuran, daging, maupun susu, telah banyak berjasa dalam memenuhi kebutuhan air manusia. Buah mentah yang menjadi matang selalu bertambah kandungan airnya, misalnya calon buah apel yang mengandung 10% air akan dapt menghasilkan buah apel yang kadar airnya 80%; nanas mempunyai kadar air 87%, dan tomat 95%. Buah yang paling banyak kandungan airnya adalah semangka dengan kadar air 97%.
Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan bagian dari suatu bahan makanan, air merupakan pencuci yang baik bagi bahan makanan tersebut atau alat-alat yang akan digunakan untuk pengolahanya. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri.
Bila badan manusia hidup dianalisis komposisi kimianya, maka akan diketahui kandungan airnya rata-rata 65% atau sekitar 47 liter per orang dewasa, setiap hari sekitar 2,5 liter harus diganti dengan air yang baru. Diperkirakan dari sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5 liter berasal dari air minum dan sekitar 1,0 liter berasal dari bahan makanan yang dikonsumsi.
Dalam keadan kesulitan bahan pangan dan air, manusia mungkin dapat tahan hidup tanpa makanan selama lebih dari 2 bulan, tetapi tanpa minumia akan meninggal dunia dalam waktu kurang dari seminggu. Kandungan air beberapa bahan makanan yang umum seperti terlihat pada table , menunjukan bahwa banyaknya air dalm suatu bahan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut, misalnya buah nenas seakan-akan mempunyai kandungan air yang lebih besar dari pada kol, kandungan air pada susu lebih besar dari kacang hijau, sedangkan susu bubuk dan terigu seakan-akan tidak mengandung air.
Table 2.2. Kandungan air beberapa komoditi
Bahan
|
Kandungan air
|
Bahan
|
Kandungan air
|
Tomat
Semangka
Kol
Nenas
Kacang hijau
Susu sapi |
94%
93%
92%
85%
90%
88% |
Ikan teri kering
Daging sapi
Roti
Buah kering
Susu bubuk
Tepung terigu |
38%
66%
36%
28%
14%
12% |
Sumber : Hartley, 1970.
2.2 Pengawetan Makanan
2.2.1 Pendinginan
Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +100C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -240C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -400C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
2.2.2 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya. Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.
2.2.3 Pengemasan
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air. Perkembangan teknologi pengemasan sangat pesat khususnya pengemas plastik yang dengan drastik mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer.
Jenis generasi baru bahan makanan pengemas ialah lembaran plastik berpori yang disebut Spore 2226, sejenis plastik yang memilki lubang–lubang. Plastik ini sangat penting penggunaannya bila dibandingkan dengan plastik yang lama yang harus dibuat lubang dahulu. Jenis plastik tersebut dapat menggeser penggunaan daun pisang dan kulit ketupat dalam proses pembuatan ketupat dan sejenisnya.
2.2.4 Pengalengan
Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai.
Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
2.2.5 Penggunaan bahan kimia
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam asetat, fungisida, antioksidan, in-package desiccant, ethylene absorbent, wax emulsion dan growth regulatory untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca panen untuk memperpanjang kesegaran masam pemasaran. Nitrogen cair sering digunakan untuk pembekuan secara tepat buah dan sayur sehingga dipertahankan kesegarannya.
Suatu jenis regenerasi baru “growth substance sintesis” yang disebut morfaktin telah ditemukan dan diaplikasikan untuk mencegah kehilangan berat secara fisiologis pada pasca panen, kerusakan karena kapang, pemecahan klorofil serta hilangnya kesegaran buah. Scott dkk (1982) melaporkan bahwa terjadinya browning/ pencoklatan, kehilangan berat dan pembusukan buah leci dapat dikurangi bila buah–buahan tersebut direndam dalam larutan binomial hangat (0,05%; 520C ) selama 2 menit dan segera diikuti dengan pemanasan PVC (polivinil klorida ) dengan ketebalan 0,001 mm.
2.2.6 Pemanasan
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat berpengaruh pada bahan pangan. Beberapa jenis bahan pangan seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap susu tinggi karena dapat merusak warna maupun rasanya. Sebaliknya, komoditi lain misalnya jagung dan kedelai dapat menerima panas yang hebat karena tanpa banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya semakin tinggi jumlah panas yang di berikan semakin banyak mikroba yang mati. Pada proses pengalengan, pemanasan di tujukan untuk membunuh seluruh mikroba yang mungkin dapat menyebabkan pembusukan makanan dalam kaleng tersebut, selama penanganan dan penyimpanan. Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk memusnahkan sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian besar mikroba yang tertinggal dan masih hidup terus di hambat pertumbuhanya dengan penyimpanan pada suhu rendah atau dengan cara lain misalnya dengan bahan pengawet. Proses pengawetan dapat di kelompokan menjadi 3 yaitu: pasteurisasi, pemanasan pada 1000 C dan pemanasan di atas 1000 C.
2.2.7 Teknik fermentasi
Fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang jika dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber.
Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan. tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L. fermentum, L. brevis, dan lain-lain.
Asam laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH (keasaman) 3,4-4 cukup untuk menghambat sejumlah bakteri perusak dan pembusuk bahan makanan dan minuman. Namun, selama proses fermentasi sejumlah vitamin juga di hasilkan khususnya B-12. Bakteri laktat juga menghasilkan lactobacillin (laktobasilin), yaitu sejenis antibiotika serta senyawa lain yang berkemampuan menontaktifkan reaksi kimia yang dihasilkan oleh bakteri fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan mematikannya, Senyawa lain dari bakteri laktat adalah NI (belum diketahui). NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril reduktase yang akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol dan kanker akan terhambat.
Di beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari makanan hasil fermentasi laktat telah lama menjadi bagian di dalam menu makanan sehari-hari. Yang paling terkenal tentu saja adalah asinan sayuran dan buah-buahan. Bahkan selama pembuatan kecap, tauco, serta terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam atau bekacem dari Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara fermentasi bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas penggunaannya. (Anonim, Suara Merdeka Edisi Cetak.mht)
2.2.8 Teknik Iradiasi
Iradiasi adalah proses aplikasi radiasi energi pada suatu sasaran, seperti pangan. Menurut Maha (1985), iradiasi adalah suatu teknik yang digunakan untuk pemakaian energi radiasi secara sengaja dan terarah. Sedangkan menurut Winarno et al. (1980), iradiasi adalah teknik penggunaan energi untuk penyinaran bahan dengan menggunakan sumber iradiasi buatan.
Jenis iradiasi pangan yang dapat digunakan untuk pengawetan bahan pangan adalah radiasi elektromagnetik yaitu radiasi yang menghasilkan foton berenergi tinggi sehingga sanggup menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang dilaluinya. Jenis iradiasi ini dinamakan radiasi pengion, contoh dan gelombang elektromagnetikb, aradiasi pengion adalah radiasi partikel. Contoh radiasi pengion yang disebut terakhir ini paling banyak g digunakan (Winarno et al., 1980).
Dua jenis radiasi pengion yang umum digunakan untuk pengawetan makanan adalah sinar gamma yang dipancarkan oleh radio nuklida 60Co (kobalt-60) dan 137Cs (caesium-37) dan berkas elektron yang terdiri dari partikel-pertikel bermuatan listrik. Kedua jenis radiasi pengion ini memiliki pengaruh yang sama terhadap makanan.
Menurut Hermana (1991), dosis radiasi adalah jumlah energi radiasi yang diserap ke dalam bahan pangan dan merupakan faktor kritis pada iradiasi pangan. Seringkali untuk tiap jenis pangan diperlukan dosis khusus untuk memperoleh hasil yang diinginkan. Kalau jumlah radiasi yang digunakan kurang dari dosis yang diperlukan, efek yang diinginkan tidak akan tercapai. Sebaliknya jika dosis berlebihan, pangan mungkin akan rusak sehingga tidak dapat diterima konsumen
Keamanan pangan iradiasi merupakan faktor terpenting yang harus diselidiki sebelum menganjurkan penggunaan proses iradiasi secara luas. Hal yang membahayakan bagi konsumen bila molekul tertentu terdapat dalam jumlah banyak pada bahan pangan, berubah menjadi senyawa yang toksik, mutagenik, ataupun karsinogenik sebagai akibat dari proses iradiasi.
Tabel 2.3 Penerapan dosis berbagai penerapan iradiasi pangan
Tujuan
|
Dosis (kGy)
|
Produk
|
Dosis rendah (s/d 1 KGy)
Pencegahan pertunasan
Pembasmian serangga dan parasit
Perlambatan proses fisiologis |
0,05 – 0,15
0,15 – 0,50
0,50 – 1,00
|
Kentang, bawang putih, bawang bombay, jahe,
Serealia, kacang-kacangan, buah segar dan kering, ikan, daging kering
Buah dan sayur segar |
Dosis sedang (1- 10 kGy)
Perpanjangan masa simpan
Pembasmian mikroorganisme perusak dan patogen
Perbaikan sifat teknologi pangan |
1,00 – 3,00
1,00 – 7,00
2,00 – 7,00
|
Ikan, arbei segar
Hasil laut segar dan beku, daging unggas segar/beku
Anggur(meningkatkan sari), sayuran kering (mengurangi waktu pemasakan) |
Dosis tinggi1 (10 – 50 kGy)
Pensterilan industri
Pensterilan bahan tambahan makanan tertentu dan komponennya |
10 – 50
|
Daging, daging unggas, hasil laut, makanan siap hidang, makanan steril |
Hanya digunakan untuk tujuan khusus. Komisi Codex Alimentarius Gabungan FAO/WHO belum menyetujui penggunaan dosis ini.
2.4 Metode Nontermal Dalam Pengawetan Makanan
Metode pengawetan secara fisik dengan pemanasan (thermal processing) masih merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam industri-industri pengolahan makanan hingga sekarang ini. Dengan metode ini, bahan makanan yang diproses mengalami pemanasan pada suhu yang sangat tinggi (diatas 1300 C) selama waktu tertentu, sehingga mikroorganisme patogen yang terkandung di dalamnya dapat dilumpuhkan.
Pengembangan teknologi dan inovasi baru dalam bidang pengolahan pangan terus dilakukan dan telah berhasil mengembangkan beberapa teknologi maju dalam bidang sterilisasi dan pasteurisasi bahan pangan yang meliputi teknologi thermal dan non-thermal. Teknologi thermal meliputi teknologi asepktik, teknologi ohmic, teknologi microwave, teknologi radiasi dengan sinar inframerah, dan teknologi pasteurisasi dengan gelombang radio.
Teknologi nontermal meliputi teknologi Pulsed electric field (PEF), teknologi high pressure processing (HPP), pulsed light (PL), teknologi ozone, teknologi irradiasi (gamma radiation), dan teknologi pasteurisasi dengan sinar X dan electron beam (model teknologi ini lebih lengkapnya pada Bab III tentang Pengawetan Makanan Dengan Teknik Nontermal.
Teknologi PEF menggunakan arus listrik bertegangan sangat tinggi dalam siklus waktu yang sangat singkat untuk mematikan sel-sel mikro-organisme tanpa disertai proses pemanasan. Teknologi PEF dapat dikategorikan sebagai teknologi nontermal, karena proses sterilisasi berlangsung di bawah ambang batas suhu yang dapat menyebabkan kematian mikro-organisme dan kerusakan nilai nutrisi dan sifat-sifat arganoleptik dari produk. Oleh sebab itu, sifat arganoleptik (aroma, rasa, warna, dan tekstur) dan nilai nutrisi bahan pangan yang diolah tetap seperti pada produk segar.
III. PENGAWETAN MAKANAN DENGAN TEKNIK NONTERMAL
3.1 Pengawetan Makanan
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun masuknya mikroba perusak. Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah makanan tersebut masih pantas di konsumsi, secara tepat sulit di laksanakan karena melibatkan faktor-faktor nonteknik, sosial ekonomi, dan budaya suatu bangsa. Idealnya, makanan tersebut harus: bebas polusi pada setiap tahap produksi dan penanganan makanan, bebas dari perubahan-perubahan kimia dan fisik, bebas mikroba dan parasit yang dapat menyebabkan penyakit atau pembusukan (Winarno, 1993).
Pengawetan makanan adalah proses perlakuan pada makanan untuk menghentikan atau mengurangi kerusakan pada makanan seperti berkurangnya kualitas dan nutrisi yang terkandung di dalamnya. Pengawetan makanan biasanya terkait dengan penghambatan pertumbuhan bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya. Banyak metode atau teknik pengawetan makanan seperti pasteurisasi, pengeringan, pendinginan, pengalengan, pemvakuman, radiasi, pemberian medan listrik, kimiawi, dan lain-lain.
Pengawetan pangan disamping berarti penyimpanan juga memiliki 2 maksud, yaitu :
1) Menghambat pembusukan.
2) Menjamin mutu awal pangan agar tetap terjaga selama mungkin.
Penggunaan pengawet dalam produk pangan dalam prakteknya berperan sebagai antimikroba atau antioksidan atau keduanya. Jamur, bakteri dan enzim selain penyebab pembusukan pangan juga dapat menyebabkan orang menjadi sakit, untuk itu perlu dihambat pertumbuhan maupun aktivitasnya. Jadi, selain tujuan di atas, juga untuk memelihara kesegaran dan mencegah kerusakan makanan atau bahan makanan. Beberapa pengawet yang termasuk antioksidan berfungsi mencegah makanan menjadi tengik yang disebabkan oleh perubahan kimiawi dalam makanan tersebut. Peran sebagai antioksidan akan mencegah produk pangan dari ketengikan, pencoklatan, dan perkembangan noda hitam. Antioksidan menekan reaksi yang terjadi saat pangan menyatu dengan oksigen, adanya sinar, panas dan beberapa logam.
Teknologi nontermal meliputi teknologi Pulsed electric field (PEF), teknologi high pressure processing (HPP), pulsed light (PL), teknologi ozone, teknologi irradiasi (gamma radiation), dan teknologi pasteurisasi dengan sinar X dan elektron beam (Salengke, 2010), berikut ini akan dibahas tentang beberapa cara teknik pengawetan nontermal.
3.2 Metode Nontermal Dalam Pengawetan Makanan
3.2.1 High Pressure Processing
a. Pengolahan tekanan tinggi
High Pressure Processing (HPP) adalah metode pengolahan makanan di mana makanan mengalami tekanan tinggi (hingga £ 87.000 per inci persegi atau sekitar 6.000 atmosfer), dengan atau tanpa penambahan panas, untuk mencapai inaktivasi mikroba atau untuk mengubah atribut makanan dalam rangka mencapai kualitas yang diinginkan konsumen. Tekanan Menonaktifkan bakteri yang paling vegetatif pada tekanan di atas £ 60.000 per inci persegi. HPP mempertahankan kualitas makanan, mempertahankan kesegaran alam, dan memperpanjang umur simpan mikrobiologi. Proses ini juga dikenal sebagai proses tekanan tinggi hidrostatik (HHP) dan ultra pengolahan tekanan tinggi (UHP).
b. Memanfaatkan teknologi HPP
Pengolahan bertekanan tinggi menyebabkan perubahan minimal dalam karakteristik segar makanan dengan menghilangkan degradasi termal. Dibandingkan dengan pengolahan termal, hasil HPP dalam makanan dengan rasa lebih segar, dan penampilan yang lebih baik, tekstur dan gizi. Pengolahan tinggi tekanan dapat dilakukan pada suhu sekitar atau refrigerator (dingin). Teknologi ini terutama bermanfaat untuk produk-produk yang sensitive terhadap panas.
c. Cara kerja HPP
Kebanyakan makanan olahan saat ini dipanaskan untuk membunuh bakteri, yang sering mengurangi kualitas produk. Pengolahan bertekanan tinggi memberikan alternatif cara membunuh bakteri yang dapat menyebabkan pembusukan atau penyakit yang terdapat dalam bahan makanan tanpa kehilangan kualitas sensori atau nutrisi.
Dalam proses HPP, produk dikemas dalam wadah yang fleksibel (biasanya sebuah kantong atau botol plastik) dan terisi ke dalam ruang bertekanan tinggi diisi dengan cairan (hidrolik) tekanan-transmisi. Cairan hidrolik (biasanya air) dalam ruang tersebut bertekanan tinggi menggunakan pompa, dan tekanan ini dialirkan melalui paket ke dalam makanan itu sendiri. Tekanan diterapkan untuk waktu tertentu, biasanya 3 sampai 5 menit. Produk olahan ini kemudian dihapus dan disimpan atau didistribusikan dengan cara konvensional. Karena tekanan ditransmisikan seragam (di semua arah secara bersamaan), makanan tetap bentuknya, bahkan pada tekanan ekstrim. Dan karena panas tidak diperlukan, karakteristik sensori makanan dapat dipertahankan tanpa mengorbankan keselamatan mikroba.
3.2.2 Puls Electron Field
a. Pengolahan medan listrik
Pengolahan menggunakan medan listrik (PEF) listrik adalah metode non-termal dari pengawetan makanan yang menggunakan semburan pendek listrik untuk inaktivasi mikroba dan menyebabkan minimal atau tidak berpengaruh merugikan pada atribut kualitas makanan. PEF dapat digunakan untuk pengolahan produk makanan cair dan semi-cair.
b. Manfaat teknologi PEF
Pengolahan PEF menawarkan makanan berkualitas tinggi seperti tawar cair dengan rasa yang sangat baik, nilai gizi, dan rak-hidup. Karena mempertahankan makanan tanpa menggunakan panas, makanan diperlakukan seperti ini mempertahankan aroma segar, rasa, dan penampilan.
c. Cara kerja PEF
PEF pengolahan makanan melibatkan mengobati ditempatkan antara elektroda dengan pulsa tegangan tinggi dalam urutan 2080 kV (biasanya selama beberapa mikrodetik). Menerapkan hasil tegangan tinggi dalam medan listrik yang menyebabkan inaktivasi mikroba. Medan listrik dapat diterapkan dalam bentuk eksponensial membusuk, gelombang persegi, bipolar, atau pulsa berosilasi dan pada suhu, temperatur sub-sekitar, atau sedikit di atas-ambien. Setelah pengobatan, makanan dikemas secara aseptik dan disimpan di bawah pendinginan.
d. Cara PEF menginaktivasi mikroorganisme
Pengobatan PEF memiliki efek mematikan terhadap berbagai bakteri vegetatif, jamur, dan ragi. Keberhasilan inaktivasi spora oleh PEF dalam kombinasi dengan rintangan panas atau lainnya adalah subjek penelitian saat ini. Serangkaian pendek, pulsa tegangan tinggi istirahat membrane sel vegetatif mikroorganisme dalam media cair dengan memperluas ada pori-pori (elektroporasi) atau membuat yang baru. pembentukan pori adalah reversibel atau ireversibel tergantung pada faktor-faktor seperti intensitas medan listrik, durasi pulsa, dan jumlah pulsa. Membran sel PEF diperlakukan menjadi permeable terhadap molekul kecil, permeasi pecah menyebabkan pembengkakan dan akhirnya membran sel.
3.2.3 Coold Plasma Processing
a. Cara kerja CPP
Peralatan ini bergantung pada penerapan teknologi gas discharge, dan digunakan terutama untuk sterilisasi batch peralatan medis di rumah sakit. Selain vakum plasma, ada beberapa aplikasi industri dikenal plasma pada suhu yang tinggi tetapi tidak ada yang berkaitan dengan penggunaan gas plasma sebagai desinfektan untuk pengolahan makanan. Namun, potensi besar-besaran aplikasi gas food grade plasma dingin adalah besar, dan rak kualitas dan kehidupan plasma dingin didekontaminasi makanan dan kemasan secara signifikan lebih baik daripada teknologi pelestarian bahan tradisional.
b. Masalah dalam penggunaan CPP
Aspek penting teknologi ini masih belum diketahui secara mendalam, khususnya sehubungan dengan penggunaannya dengan makanan. Kita tidak tahu ukuran dinginnya plasma untuk menginactifkan spora atau bagaimana plasma dingin khususnya molekul elektronik- berinteraksi dengan makanan atau bahan kemasan, atau stabilitas plasma untuk operasi komersial besar-besaran.
c. Keuntungan menggunakan teknologi CDP
Plasma dingin dapat digunakan untuk dekontaminasi produk dimana mikro-organisme eksternal berada. Tidak seperti cahaya (misalnya dekontaminasi sinar ultraviolet), plasma mengalir di sekitar benda, yang berarti ‘efek bayangan’ tidak terjadi memastikan semua bagian dari produk diperlakukan. Untuk produk seperti sayuran dipotong dan daging segar, tidak ada teknologi permukaan dekontaminasi ringan saat ini tersedia; plasma dingin dapat digunakan untuk tujuan ini. Plasma dingin juga dapat digunakan untuk mikroorganisme permukaan sebelum produk dikemas sebagai bagian dari proses pengemasan. Plasma yang dihasilkan oleh debit listrik, mirip dengan yang digunakan dalam tabung lampu fluorescent, sangat efisien (80%) konversi tarif listrik untuk plasma. Konsumsi energi akan sama dengan sistem UV-C dan perlakuan pada makanan akan sangat efektif dalam biaya, elektronik dan masa plasma teknologi yang sebanding dengan sistem UV-C bahkan dengan kebutuhan tambahan untuk gas pembawa. Sterilisasi kering tanpa bahan kimia berarti pengurangan limbah kimia dan air limbah, yang baik bagi lingkungan dan ekonomis (menguntungkan). Makanan iradiasi adalah teknologi untuk mengendalikan pembusukan dan menghilangkan patogen makanan, yang disebabkan seperti salmonella. Hasilnya adalah mirip dengan pasteurisasi konvensional dan sering disebut “pasteurisasi dingin” atau “pasteurisasi iradiasi.” Seperti pasteurisasi, iradiasi membunuh bakteri dan patogen lainnya, yang dapat mengakibatkan keracunan atau pembusukan makanan.
3.2.4 Elektron Beam Generator
Fasilitas balok elektron menghasilkan e-balok dengan akselerator berkas elektron linear (bekerja pada prinsip yang sama dengan tabung televisi). Semua elektron terkonsentrasi dan dipercepat sampai 99% dari kecepatan cahaya dan energi hingga 10 MeV. Karena e-balok dihasilkan elektrik, mereka menawarkan keuntungan tertentu :
– Mereka dapat diaktifkan hanya jika diperlukan
– Mereka tidak membutuhkan penambahan sumber seperti halnya cobalt-60
– Tidak ada limbah radioaktif
– E-beam teknologi juga memiliki kelemahan:
– Dangkal kedalaman penetrasi
– E-balok harus dikonversi ke x-ray untuk menembus item besar.
3.2.5 Pulsed Light
Secara tradisional, pengolahan makanan yang paling sering digunakan adalah dengan panas guna menghambat mikroorganisme pada suhu 60°C selama beberapa menit dan 100°C selama beberapa detik. Selama periode ini, sejumlah besar energi yang ditransfer ke makanan, yang dapat memicu reaksi yang mengarah ke perubahan yang tidak diinginkan. Selama pemrosesan nontermal, suhu makanan yang dicapai dibawah suhu pengolahan termal. Dengan demikian, vitamin, nutrisi penting, dan rasa diharapkan tidak mengalami perubahan. Pulsed Light digunakan untuk inaktifasi cepat mikroorganisme pada permukaan makanan, peralatan, dan makanan dalam kemasan. Istilah yang sering digunakan yaitu high intensity broad spectrum pulsed light (Roberts and Hope, 2003) and pulsed, white light (Marquenie et al. 2003a,b), are synonymous with PL (Rowan et al., 1999).
Penggunaan lampu flash inert-gas menghasilkan intens dan pulsa pendek dari ultraviolet (UV) light mikroba inaktivasi dimulai pada akhir 1970-an di Jepang. Dalam 1988 eksperimentasi, ekstensif dilakukan oleh Pure Pulse Technologies Inc memberikan proses yang disebut Pulsed Light PureBright® untuk mensterilkan obat-obatan, peralatan medis, kemasan, dan air. PL melibatkan penggunaan pulsa intens durasi pendek dan spektrum yang luas untuk menjamin inaktivasi mikroba pada Makanan Bioproses Technol (2010).
3.2.6 Oscillating Magnetic Fields
Deskripsi dan Aplikasi Statis (SMF) dan osilasi (OMF) medan magnet telah dieksplorasi untuk potensi sebagai metode inaktivasi mikroba. Pengawetan makanan dengan OMF melibatkan segel makanan dalam kantong plastik dan memberikan 1 sampai 100 pulsa dalam OMF dengan frekuensi antara 5 sampai 500 kHz pada suhu di kisaran 0 sampai 50oC selama waktu total eksposur mulai dari 25 sampai 100 ms. Frekuensi yang lebih tinggi dari 500 kHz kurang efektif untuk inaktivasi mikroba dan cenderung panas pada bahan makanan (Barbosa-Cánovas dan others1998).
Perlakuan medan magnet dilakukan pada tekanan atmosfer dan pada suhu sedang. Suhu makanan meningkat 2-5oC. Menurut Hoffman (1985) paparan medan magnet menyebabkan hambatan dalam pertumbuhan dan reproduksi mikroorganisme. OMF intensitas 5 sampai 50 telsa (T) dan frekuensi dari 5 sampai 500 kHz diterapkan dan mengurangi jumlah mikroorganisme oleh setidaknya siklus 2-log.
Dalam DNA adalah 10-2 untuk 10-3 eV (Hoffman, 1985). OMF intensitas ini dapat dihasilkan dengan: (1) kumparan superkonduktor; (2) kumparan yang menghasilkan medan DC, atau (3) gulungan energi oleh pembuangan energi yang tersimpan dalam sebuah kapasitor (Gersdof dan lain-lain 1983).
3.2.7 Ultra Sound
Aplikasi USG dalam teknologi makanan Technologie Alimentaria 6 (3) 2007 93 menerapkan USG selama lebih dari tiga jam, aktivitas asli peroksidase, bertanggung jawab untuk pengembangan off-rasa dan pigmen coklat, telah semakin berkurang 90% (Mason et al., 1996). Penggunaan USG daya secara signifikan meningkatkan ekstraksi senyawa organic terkandung dalam tubuh tanaman dan biji bijian. Manfaat tambahan hasil dari gangguan biologis dinding sel untuk memfasilitasi pelepasan isi. Dikombinasikan dengan efek ini ditingkatkan perpindahan massa, karena efek dari microstreaming yang lebih efisien.
Metode ekstraksi gula (Chendke dan Fogler, 1975), sonikasi ini dipercepat gula difusi dan memberikan tingkat yang lebih tinggi kandungan bahan kering dan kadar gula dalam juse (Stasiak, 2005). Dalam beberapa kasus sonikasi meningkatkan efisiensi ekstraksi pada menurunkan suhu menghasilkan produk yang lebih murni dalam waktu yang lebih singkat (Mason et al, 1996).
Power USG telah terbukti sangat berguna dalam proses kristalisasi. Ini melayani sejumlah peran dalam inisiasi pembenihan dan pembentukan kristal berikutnya dan pertumbuhan (Mason et al., 1996). USG juga telah diterapkan untuk filtrasi. Akibatnya, kandungan air lumpur yang mengandung air 50% dengan cepat berkurang menjadi 25%, sedangkan penyaringan konvensional mencapai batas hanya 40% [Mason et al. 1996]. Contoh lain dari aplikasi USG penting komersial yang berpotensi besar adalah akustik pengeringan. Ultrasonically ditingkatkan pengeringan bisa dilakukan di bawah suhu dari metodologi konvensional yang mengurangi kemungkinan oksidasi atau degradasi dalam materi.
USG Power telah membuktikan sendiri merupakan metode yang efektif dalam membantu pembekuan makanan dan manfaatnya yang luas-berkisar. Selain aplikasi tradisional dalam mempercepat es proses nukleasi, juga dapat diterapkan untuk membekukan konsentrasi dan pengeringan beku proses dalam rangka pengendalian distribusi ukuran kristal dalam produk beku. Jika diterapkan untuk proses pembekuan bahan makanan segar, USG tidak bisa hanya meningkatkan laju pembekuan, tetapi juga meningkatkan kualitas produk beku. Penerapan kekuasaan USG juga dapat memanfaatkan memproduksi es krim dengan mengurangi ukuran kristal, mencegah inkrustasi di permukaan pembekuan, dll (Zheng dan Sun, 2006).
Teknik yang paling umum saat ini digunakan untuk menonaktifkan mikroorganisme dalam makanan produk pasteurisasi dan sterilisasi termal konvensional. Pengolahan termal tidak membunuh mikroorganisme vegetatif dan beberapa spora, namun efektivitas adalah tergantung pada temperatur dan waktu pengolahan. Namun, besarnya pengobatan waktu dan proses temperatur juga sebanding dengan jumlah kerugian gizi, pengembangan rasa yang tidak diinginkan dan kemerosotan sifat fungsional produk makanan.
USG tinggi daya diketahui dapat merusak atau mengganggu dinding sel biologis yang akan mengakibatkan kerusakan sel-sel hidup. Sayangnya intensitas yang sangat tinggi diperlukan jika USG sendiri akan digunakan untuk sterilisasi permanen. Namun, penggunaan USG digabungkan dengan teknik dekontaminasi lainnya, seperti tekanan, panas atau ekstrim pH menjanjikan. Thermosonik (panas ditambah sonikasi), tekanan manosonik (ditambah sonikasi), dan manothermosonik (panas ditambah tekanan plus sonikasi) perlakuan mungkin metode terbaik untuk menonaktifkan mikroba, karena mereka lebih banyak energi dan efektif dalam membunuh mikroorganisme.
Keuntungan USG di atas pasteurisasi panas meliputi : meminimalkan kehilangan rasa, homogenitas yang lebih besar dan signifikan penghematan energi (Mason et al.,1996). Sejumlah besar data ada mengenai dampak USG terhadap inaktivasi mikroorganisme (Piyasena et al., 2003). Efektivitas pengobatan USG ini tergantung pada jenis bakteri yang diuji. Faktor lainnya adalah amplitudo dari gelombang ultrasonik, paparan waktu, volume makanan yang diproses, komposisi makanan dan pengobatan suhu. Efek bakterisida dari USG yang diamati sementara ditangguhkan dalam budaya menengah (Davies, 1959). Menurut Lillard (1993) salmonella melekat pada ayam pedaging kulit berkurang pada sonikasi di pepton pada 20 kHz selama 30 menit. Hasil penelitian dilakukan oleh Dolatowski dan Stasiak (2002) membuktikan bahwa pengolahan ultrasound mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kontaminasi mikrobiologi daging. Ada sejumlah besar aplikasi potensial USG intensitas tinggi dalam industri makanan. Aplikasi dari kedua USG-tinggi dan frekuensi rendah dalam makanan industri telah terbukti memiliki potensi besar baik untuk memodifikasi atau mencirikan sifat-sifat makanan.
V. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
- Dengan metode nontermal, bahan makanan yang diproses mengalami pemanasan pada suhu yang sangat tinggi (diatas 1300 C) selama waktu tertentu, sehingga mikroorganisme patogen yang terkandung di dalamnya dapat dilumpuhkan.
- Pengawetan bahan makanan dapat dilakukan dengan cara: pendinginan, pengeringan, pengemasan, pengalengan, penggunaan bahan kimia, pemanasan, teknik fermentasi maupun teknik Iradiasi.
- Pengawetan makanan dengan teknik Teknologi nontermal meliputi : High Pressure Processing, Puls Electron Field, Coold Plasma Processing, Pulsed Light, Elektron Beam Generator, Oscillating Magnetic Fields, ULTRA SOUND.
4.2 Saran
Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang teknik pengawetan nontermal dari aspek teknis dilapangan, sehingga dapat diperoleh data-data yang falid, akuntable dan akurat, sehingga dapat memberikan informasi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, tentunya makalan ini tidaklah sempurna dan memiliki banyak keterbatasan serta kekurangan. Namun, ketidak sempurnaan tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan maupun kritikan serta masukan yang bersifat membangun dan menyempurnakan materi tersebut bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Pulsed light technology, a promising new process for enhancing seafood quality.
Anonim. 2011. http://www.seafoodplus.org/Pulsed_light_technolog. 614.0. html. Diakses tanggal 10 Nopember 2011.
Badan POM. 2004. Artikel : Bahan Pengawet Makanan.
Barbosa-Canovas, PhD, E., Pothakamury, UR dan Swanson, BG. 1997. Application of light pulses in the sterilization of foods and packaging materials. Penerapan pulsa cahaya dalam sterilisasi makanan dan bahan kemasan. Nonthermal Preservation of Foods. Nonthermal Pengawetan Makanan. Marcel Dekker. New York.
Davies, R. H., and M. Breslin. 2003. Investigations into possible alternative decontamination methods for Salmonella Enteritidis on the surface of table eggs. J. Vet. Med.
Deman J. M, 1997, Kimia Makanan, ITB, Bandung.
Dunn, J., Clark, RW, Asmus, JF, Pearlman, JS, Boyer, K., Pairchaud, F. dan Hofmann, GA. 1991. Methods for preservation of foodstuffs. Metode pengawetan makanan. Maxwell Laboratories, Inc. US Patent 5.034.235.
Dunn, JE, Ott, TM, Clark, RW. 1996 Perpanjangan masa hidup dalam produk polong tahan lama. US Patent 5489442
Higgins, S. E., A. D. Wolfenden, L. R. Bielke, C. M. Pixley, A. Torres-Rodriguez, J. L. Vicente, D.Bosseau, N. Neighbor, B. M. Hargis, and G. Tellez. 2005. Application of ionized reactive oxygenspecies for disinfection of carcasses, table eggs, and fertile eggs. J. Appl. Poult.
Krishnamurthy K., J. C. Tewari, J. Irudayaraj, and A. Demirci. 2007. Microscopic and spectroscopic evaluation of inactivation of Staphylococcus aureus by pulsed UV-light and infrared heating. Food Bioprocess Technol. (Available online). DOI 10.1007/s11947-008-0084-8.
Suhardjo, Clara M.K, 1992, Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi, Kanisius, Yogyakarta
Winarno F.G, 1984, Kimia Pangan dan Gizi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.